Minggu, 08 Mei 2011

PUNCAK RENGGANIS

Aku tidak membayangkan, bagaimana mungkin kami bisa melaluinya pada malam hari kemarin? Ternyata medannya ngeri baget…! Tapi mungkin benar kata-kata bijak yang menyebutkan "Mereka yang percaya sesuatu itu mustahil, akan selalu mendapati hal itu memang mustahil. Sementara mereka yang percaya tidak ada yang mustahil akan selalu menemukan jalan".  
Aku dan kawan-kawanku sudah siap berangkat menuju desa Badera karena pendakian kami akan berawal dari sini. Pukul 05.30 angkot yang akan mengantar kami ke Desa Baderan sudah siap dengan kesepakatan harga 5000 rupiah per orang. Setelah berpamitan pada orang tua masing-masing, serta melapor pada petugas polsek Besuki, kami pun berangkat. Sekitar 1 jam kemudian, kami sampai di Desa Baderan. Kami mampir terlebih dahulu ke sebuah warung sederhana di dekat pos BKSDA Argopuro Baderan. Menu yang disajikan adalah nasi jagung plus sayur pecel dengan lauk tempe dan ayam goreng.. Cukup nikmat, tapi pedesnya itu lho...!! Ampun deh… Puas mengisi perut, pukul 7.30 kami bersama-sama menuju pos BKSDA untuk melaporkan rencana pendakian kami. Usai ngobrol sejenak dan para cewek (dan temen cowok yang centil) sibuk memakai sun block, kami memulai perjalanan pada pukul 08.15, tanpa lupa untuk berdoa dan berfoto ria terlebih dulu.
Udara cukup cerah dan menyengat. Beberapa bukit yang berganti menjadi areal persawahan nampak menjulang jelas. Pantas saja longsor di lereng argopuro beberapa tahun lalu cukup hebat, penggundulannya pun tak tanggung-tanggung…!!! Kami menyusuri sepanjang aliran sungai bening yang menggoda mengajak mandi. Dan benar saja, ada seorang wanita yang sedang mandi didepan kami…hhihi…jadi malu sendiri. Tapi si wanita cuek saja, meski dia tahu ada teman2 cowok yang melintas disampingnya.. Kata seorang teman, "ini nih, bonus pertama…" hehehee…
Tak lama menyusuri sungai, jalanan berganti dengan jalan makadam/berbatu yang menanjak. Keringat pun mengucur semakin deras seiring nafas yang memburu. Tapi kondisi tersebut tidak berjalan lama. Sekitar 1 jam ketika kami mulai meninggalkan area jalan berbatu dan berganti perkebunan tebu, hujan mulai mengguyur kian deras. Hujan terus saja membasahi tubuh-tubuh kami yang mulai kedinginan hingga Pos Mata Air 1. Sejenak kami berhenti untuk menyantap kentang dan telur rebus yang dibawa Topek. Beberapa teman cowok berinisiatif untuk mengambil air di sumber air yang letaknya dilereng jalanan. Namun karena ternyata kondisi jalan menuju mata air licin, niat tersebut pun urung. Kami pun melanjutkan perjalanan yang ternyata sudah begitu jauh dari waktu standar. Apalagi kami berniat untuk nge camp di Cikasur malam itu. Perjalanan menuju Pos Mata Air 2 terasa makin berat ketika hujan makin deras dan jalanan yang makin menanjak. Mungkin dalam kondisi kering, jalanan akan dengan mudah didaki, tapi karena aliran air hujan yang begitu deras, jalanan menjadi licin. Belum lagi kaki-kaki kami mulai terasa dingin meski beberapa dari kami termasuk aku, sudah memakai sepatu.
Sementara hari mulai gelap dan hujan terus mengguyur, kami tak jua menemukan Pos Mata Air 2. Lalu jam berapa bisa sampai Cikasur??? Aku mulai dirambati rasa jengkel dan sesal. Jengkel karena ternyata sejauh ini kami belum juga sampai ke tujuan pertama. Tapi harus menyalahkan siapa?? Kondisi Fauzi pun makin parah .Dia sampai harus dibantu tongkat dalam berjalan. Bahkan kemudian tercetus keinginannya untuk kembali saja ke Baderan!! Ya Allah…apalagi ini? Fauzi yang biasanya punya tenaga kuda karena sering berpuasa waktu naik gunung dan selalu paling depan, kini menyerah??!!! Hal ini sempat membuatku dan 2 teman2 cewek ikut down. Tapi kemudian kukatakan pada Fauzi dan yang lain ketika kami sedang rehat tentang apa yang kubaca dari sebuah buku bahwa " Yang bisa menghentikanmu adalah dirimu sendiri"! Dan rupanya ucapan itu cukup manjur, dan Fauzi pun bersedia melanjutkan perjalanan.

Matahari menghilang dibalik pepohonan dan bukit yang mulai nampak menyeramkan. Dan kami tak juga menemukan pos Mata Air 2. Putri dan Kois pun akhirnya memutuskan untuk nge camp darurat di sebuah tempat landai mengingat kondisi kami yang nampak kelelahan. tenda pun siap ketika maghrib menjelang. Bintang-bintang nampak jelas ketika hujan reda dan mendung menyingkir. Tapi udara yang cukup dingin membuat kami tak ingin berlama-lama diluar tenda, dan kami pun segera merebahkan diri dalam mimpi.
Pukul 09.00 kami bergegas meninggalkan area camp. Targetnya minimal kami harus sampai di Cikasur. Yah.. sedikit meleset dari jadwal karena seharusnya saat ini kami sudah dalam perjalanan dengan target Cisentor. Tapi kami tak mau memaksakan diri. Have fun aja lah… Tak lama berjalan, kami bertemu Pos Mata Air 2.
Ternyata hanya 5 menit dari tempat kami berkemah!! Perjalanan menuju Cikasur kami lalui dengan bugar, bahkan Fauzi yang kemarin lemah pun sekarang berjalan lagi di rombongan depan. 

Jalan yang cukup landai bahkan beberapakali turunan mempercepat perjalanan kami. Keindahan Argopuro mulai kami rasakan ketika kami sampai di sebuah alun-alun kecil yang merupakan sebuah padang rumput. Menurut Putri, sepanjang perjalanan pemandangan seperti inilah yang akan kami nikmati. Padang rumput luas, hutan, terus berganti-ganti. Wow… membayangkannya saja sudah terasa indah. Cuaca selama perjalanan menuju Cikasur pun begitu bersahabat. Barulah ketika kami sudah mendekati Cikasur sekitar pukul 11.30 , hujan gerimis mulai menyapa. Dari kejauhan, nampak padang rumput hijau dengan aliran sungai deras dibawah sana.. Oh, ini kesekian kalinya aku berdecak kagum melihat indahnya alam Argopuro.
Pemandangan makin nampak indah ketika kami sampai di Pondok pendaki Cikasur untuk berteduh. Di belakang pondok terdapat reruntuhan bangunan yang konon bekas markas Belanda. Sementara menunggu hujan reda sembari beristirahat, kami memasak bekal, sedangkan Kois dan Putri mencari selada air di sungai. Mi gelas plus energen hangat begitu melengkapi rasa nikmat kami selama berada di Cikasur. Kami memutuskan untuk menunggu hujan reda untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Cisentor. Menurut Kois, amat riskan jika kami harus mendirikan tenda di Cikasur, karena hawa yang sangat dingin. Hujan benar-benar reda ketika waktu menunjukkan pukul 17.00.tepat sama seperti kemarin. Ketika kami bersiap berangkat, kami mendengar suara burung merak bersahutan di hutan seberang pondok. Sayangnya, dia enggan menampakkan bulu-bulu indahnya pada kami……..
Rombongan pun berangkat menuju Cisentor pukul 17.30.Sedikit terkesan nekat memang,  Ketika kami mulai meninggalkan Cikasur, nampaklah lapangan terbang yang terhampar begitu luas dibawah sana. Begitu apik… Kami terus berjalan menembus padang rerumputan dan hutan hingga malam mulai menjelang dan senter-senter mulai dinyalakan. Ritme berjalan pun mulai melambat karena terbatasnya jangkauan pandang dan hujan mulai mengguyur lagi. Inilah kerugian berjalan malam....
Kami sempat dibingungkan dengan hilangnya tanda/pal yang berfungsi sebagai panduan dan penanda jarak yang ternyata terhalang rimbunnya tanaman dan pepohonan tumbang. Sisa-sisa kebakaran hutan pun sedikit menutup jalur pendakian. Syukurlah, Allah Yang Maha Kuasa masih menyanyangi dan berulang kali memberikan petunjukkan arah yang benar melalui 'tanda-tanda' tertentu. Hampir 5 jam, suara gemericik air pertanda Cisentor tak jua kami dengar. Hingga sampailah kami pada jalur yang cukup sulit karena kondisi jalan yang sempit dan kadangkala tertutup pohon tumbang, dengan tebing menjulang disebelah kanan dan jurang disebelah kiri. Belum lagi kami harus mewaspadai tanaman penyengat yang siap menancapkan durinya disana-sini. Dan topeklah lah yang terpilih untuk mencoba pertama kali Keraguan akan jalur yang benar membuat Kois dan Maman mengecek terlebih dahulu jalan yang ada didepan kami. Tak lama kemudian mereka kembali dan mengatakan medan didepan sana sangat riskan untuk dilalui pada malam hari begini. Akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di jalan dibawah tebing yang menjulang 90 derajat. Dalam keheningan malam yang diisi suara dengkur lelah teman-temanku, aku terus berdoa semoga perjananan kami selalu dilindungi olehNya….
Pukul 06.00 aku dan teman-teman sudah terbangun. Kami semua tertegun menyaksikan medan perjalanan yang kami lalui semalam. Ughh.. aku tidak membayangkan, bagaimana mungkin kami bisa melaluinya pada malam hari kemarin? Ternyata medannya ngeri begitu…! Tapi mungkin benar kata-kata bijak yang menyebutkan "Mereka yang percaya sesuatu itu mustahil, akan selalu mendapati hal itu memang mustahil. Sementara mereka yang percaya tidak ada yang mustahil akan selalu menemukan jalan."

Sejak itulah kepercayaan diriku terus muncul bahwa aku bisa menyelesaikan pendakian ARGOPURO ini. Meski pada hari pertama kemarin, aku mendapat serangan mual yang mungkin bagian dari manifestasi sakitku beberapa waktu lalu. Setelah menyantap sarapan roti bakar oles Blue Band plus strawberry jam dan kopi hangat, kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan Cisentor.
 Jalur yang kami tempuh memang benar, tapi didepan kami (yang dikatakan Kois dan Maman riskan) jalur yang ada begitu 'menantang'. Kami harus berjalan miring melewati sebuah pohon tumbang yang licin dan sudah berjamur dengan jurang dibawahnya. Aku sedikit terpeleset ketika tak sengaja menginjak jamur. Untunglah aku bisa meraih rerumputan tebing..Wiuh, ini benar-benar fear factor!! selanjutnya, jalanan tertutup ilalang yang begitu rapat, ditambah lagi tanaman penyengat siap menghadang.    Dan Auuw… betisku yang telanjang karena cuma memakai celana pendek terkena belaian durinya. Rasa panas, sedikit gatal pun terasa. Tak apa, kupikir. Kalo rasa gatalnya terus saja menetap, aku akan menenggak antihistamin yang kubawa. Tak sampai 10 menit, Cisentor pun sudah nampak didepan mata. Masyaallah, ternyata begitu dekatnya kami dengan sungai jernih ini… Setelah meletakkan ransel di pondok pendaki, aku berniat membasahi tubuh yang sudah terasa lengket karena berhari-hari tak terjamah air. Tapi kami harus segera melanjutkan perjalanan menuju Puncak rengganis. Yah, ritual mandi harus ditunda dulu..
Ransel sepakat kami tinggalkan dipondok yang akan dijaga Putri dan Andre dan hanya membawa minum, snack dan ponco menuju puncak. Langkah kaki terasa ringan selama kami melintasi padang rumput dan hamparan pohon edelweis menuju Rawa Embik. Sayang sekali bunga edelweis tidak menunjukkan keindahannya pada kami. Mungkin karena saat ini sedang musim penghujan, sehingga tampak beberapa bunga yang dulu mekar mulai membusuk. Jalanan menanjak pun tak terhiraukan. Perjalanan dari Cisentor menuju Rawa embik hanya membutuhkan waktu 45 menit. Kami cukup lama beristirahat di Rawa embik. Sambil menikmati indahnya alam, tak lupa kami menyalurkan bakat foto model dengan Maman sebagai sang fotografer.
Puas bernarsis ria, kami berjalan lagi menuju Puncak. Hanya sekitar 40 menit kemudian kami sudah sampai di puncak Rengganis setelah sebelumnya kami berdoa sejenak di papan memoar saudara Anang Purwanto.Di puncak inilah kami serasa berada dalam sebuah kerajaan besar yang kukuh dan berbudaya. Dengan tatanan batu yang mengitari area, bekas-bekas arca, bekas pondasi berkotak-kotak dan juga yang kemungkinan adalah makam. Kabut dan hujan gerimis menyaput ketika kami tepat sampai di puncak Rengganis. Aku menemukan semacam kentheng (tempat menumbuk padi) seperti yang kulihat di puncak Kentheng Songo di gunung Merbabu. Nampak pula tumpukan sesaji seperti ketupat, rokok, bunga sepasar, buah teronggok disana. Dari atas puncak Rengganis, pemandangan yang terhampar begitu indah.. Apalagi ketika kabut mulai menyingkir. Ya Allah… begitu besar kuasaMu yang telah menciptakan semua ini.. Fauzi nampak begitu senang dan dia mengatakan akan sangat menyesal jika pada hari pertama kemarin dia benar-benar kembali turun dan membatalkan perjalanan..
Kami tak berlama-lama diatas puncak karena hujan mulai turun kembali. Perjalanan turun menuju Cisentor sedikit terganggu oleh hujan yang menyebabkan jalanan menjadi licin. Akibatnya aku, Kois, Ajeng, Hari dan  Fauzi bahkan Putri sempat melakukan surfing sampai telentang. hehhee…. lucu juga kalau diingat-ingat. sensasi kaget saat terjatuh dan rasa malunya itu lho!!
Perjalanan ke Cisentor hanya ditempuh dalam waktu 1 jam 10 menit. Wah, senang sekali rasanya karena berhasil menempuh separo perjalanan panjang ini. aku dan Maman pun bertekad untuk mandi sore itu. Air yang dingin bukan halangan bagi kami berdua. Apalagi tak ada kekhawatiran adanya Joko tarub kan??? Hehehhee….
Malam itu, udara sangat bersahabat. Nyaris tidak turun hujan dan hawa tidak terlalu dingin. para wanita memasak beras, selada air dari Cikasur dan merebus kentang untuk makan malam. Selada air yang disajikan dengan bumbu pecel yang dibawa pun terasa begitu segar dan nikmat. Coba kalau dirumah, dipaksa pun ga bakalan aku mau makan selada. hehehhe…..
Hari terus berganti. Kami berulang kali saling menanyakan sekarang hari apa ya?  Kami berencana untuk segera melanjutkan perjalanan pulang. Ada beberapa teman yang menginginkan kami langsung turun ke Bremi, tapi ada pula yang ingin melihat keindahan Danau Taman Hidup. Disinilah egoisme diuji untuk dapat bertoleransi dan kompromi atas kepentingan pribadi maupun umum, dengan memperhatikan kondisi.
Dengan kondisi fisik yang mulai menurun apakah kami bisa melanjutkan perjalanan langsung ke Bremi ato tidak… Tiba-tiba ketika kami sedang bersiap packing, terdengar suara nyanyian bertema nasionalisme menggema di lereng menuju sungai Cisentor dan semakin mendekat. Ternyata ada sekitar 700 orang Marinir dari KODIKAL Surabaya berjalan menuju Cisentor untuk menjalani latihan rutin. Ada sedikit kelucuan yang terjadi waktu aku, Kois dan Topek sedang berada di sungai untuk mencuci muka. Kami mencuci muka tepat disamping deretan batu yang dipakai sebagai jembatan untuk menyeberang sungai. Nah, ada beberapa tentara yang terpeleset dan tercebur ke sungai ketika melewati sungai dan berada di dekat kami… Akibatnya, sang pelatih yang ada diseberang berulang kali berteriak, "Ga pake lirak lirik!!" Haahahhaa….Masak sih mereka yang kepleset itu gara-gara ngelirik temen" cewek…(hihihi….…) Sementara para siswa marinir itu istirahat dan makan pagi, kami berfoto ria dengan para pelatihnya. Salah seorang pelatih bertanya padaku, "Apa se mas yang dicari disini??" Lah,kok tanya gitu? Apa perlu kujawab seperti kata Thoreau "aku pergi ke hutan untuk mencari kebijaksanaan…" HALAHH!!!
Sebenarnya kami berniat berangkat mendahului tentara2 itu, tapi kami atas pertimbangan "kecepatan" kami pikir kebih baik kami berjalan di belakang mereka. Ternyata….., mereka berjalan sangat LAMBAT!!! Kami berulang kali harus berhenti untuk menunggu mereka mengatasi tanjakan dan menerima sejumlah pentungan popor senapan dari pelatih. Belum lagi bentakan-bentakan kasar yang berdampak juga pada emosi kami yang ikut2an jadi 'kasar'. Hehehee…. tapi yang paling membuat kami merugi adalah akibat jalur yang terinjak 700 orang itu, jalanan menjadi rusak, ditambah lagi kondisi becek akibat hujan yang terus mengguyur, so… kami makin sering terpeleset gara-gara bekas pelesetan tentara itu juga.
Padahal medan di Hutan Taman Lumut begitu terjal dengan lembah yang siap mengancam dibawah sana. Hal itu terus mengganggu hingga kami memasuki hutan Konservasi. Fisik pun makin terasa lelah karena psikis yang 'juga lelah'. Hampir 6 jam kami berjalan (tapi lebih banyak berhentinya nunggu tuh marinir agak jauhan) akhirnya kami berunding. Apakah kami langsung turun ke Bremi ato menginap semalam lagi..
Waduh, molor?? Aku sempat kuatir juga. Bukan apa-apa…. aku cuma pamit pada orang tua 4 hari, nyatanya…. hikzz.. Kami akhirnya memutuskan untuk berjalan saja terus hingga gelap, jika memang kondisi tidak memungkinkan, kami akan mendirikan tenda lagi. Mulanya rombongan terbagi atas 3 kelompok.. Tapi kemudian rombongan kedua berhasil menyusul rombongan pertama. Ketika itu, hari sudah semakin gelap dan hutan makin nampak 'menyeramkan'. Sepanjang jalan aku terus melafalkan beragam doa, begitu juga ajeng dan Putri. Kami berulang kali berteriak memanggil Aku, Fauzi dan Topek, tapi sama sekali tak ada sahutan. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda disebuah tanah landai karena jalanan yang mulai terasa membingungkan dan karena Maman melihat 'penampakan'. Nih anak memang lumayan peka dengan hal-hal begituan….
Andre berinisiatif untuk menjemput rombongan terakhir ketika akhirnya kami mendengar teriakan Kois, Tapi kok nadanya, desperate gitu….hehehee…ada apa nih??!!
Sewaktu kami memasak, Kois menceritakan kejadian selama dia, Ajeng dan Fauzi tertinggal jauh di belakang. Ternyata mereka sempat salah jalan hingga akhirnya mereka bertemu dengan sesosok hewan bertubuh lunak (krn sempat terinjak), berbulu lebat dan gelap, mata besar, berkaki empat, yang menghadang ditengah jalan dan tak mau pergi meski sudah ditodong cutter sampai juga GUNTING! Hehehee…. asal sih.. Akhirnya mereka bertiga memutar arah karena hewan itu tak juga mau enyah, tapi malah ternyata mereka kembali ke jalur yang benar. Syukurlah…
Sementara kami bercerita dan memasak, aku sempat 'merasakan' ada 'sesuatu' yang memperhatikan disekitar kami. Entah apa aku tak tahu.Aku sempat menyorotkan senter kearah samping tenda yang berupa semak-semak.Tak ada apapun… Aku pun tenang. Tapi kemudian tiba-tiba Kois dan Ajeng menyeringai dengan ekspresi wajah ngeri. Maman sempat bertanya ada apa.. Tapi kedua cewek itu tak menjawab dan hanya menundukkan wajah memandang kearah nasting yang tengah kami pakai menggoreng tempe..
Kami berempat mempercepat acara masak memasak dan segera membangunkan teman2 yang lain untuk segera makan malam.Makan malam usai, kami pun segera masuk tenda untuk beristirahat. Tapi hatiku tetap saja diliputi tanya..
Kemudian pada keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju bremi dan akhirnya....!!! Kami sampai, Alhamdulillah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar